SEJAK KAU TIBA DI SINI
Sejak kau tiba di sini, memanggil-manggil nama mas Wahabi
Keharmonisan tak ada lagi di bumi pertiwi
Dengan cara yang kau sebut Islami
Semua tradisi kami, perlahan-lahan kamu kebiri
Dan di balik keindahan ayat-ayat suci
Semua langkahmu dianggap polah surgawi
Bahkan, ketika kami bertawasul kepada Nabi
Kami harus rela untuk dicaci-maki
Sejak menerimamu di sini, kau malah arogan sekali
Mentang-mentang baru bisa mendalil dengan Fasih
Semua Musholla dan Masjid, kau coba kuasai
Entah apalagi yang belum kau siasati
Sampai kuburan pun kau komentari
Kamu tahu, perbedaan pendapat itu rahmat Illahi
Tapi baru beda persepsi, kamu langsung memusuhi
Coba ajak dulu mereka berdiskusi
Jangan seenaknya main hakim sendiri
Gayamu laksana Islam sejati
Golongan lain kamu anggap Jahily
Hingga semua orang kamu kibuli
Lantas, sampai kapan negara ini bisa mandiri
Ambisimu menguasai NKRI
Dengan membentuk partai berideologi
Tapi kenyataan Bhineka Tunggal Ika di sini, tak mau diakui
Kamu belum merasakan susahnya mendirikan negara ini
Tapi dengan seenaknya, kamu rampas jerih-payah kami
Coba, apa yang telah kamu lakukan untuk negeri ini
Belum apa-apa, pengennya ngatur sendiri
Kalau mau punya negara sendiri, sana, jangan ngerecoki di sini
Indonesia milik bersama, bukan milik keluarga mas Wahabi
Sejak kau hidup di sini, semua orang kamu curigai
Sampai-sampai, semuanya diwajibkan memakai baju putih
Baequni Mohammad Haririe
Cirebon, 2008
Membisu atas ketidakadilan lebih pengecut daripada meneriakkan kebenaran tanpa memperjuangkannya (Baequni Mohammad Haririe)
Kamis, 05 Februari 2009
Kamis, 29 Januari 2009
AKU DAN WAJAH ITU
sejauh apapun aku berlari, sepertinya wajah itu tak pernah ada
sebab ingatanku bercabang dan melayang-layang
sama-sama terbang layaknya layang-layang
tali yang kupakai, tak pernah terulur
kalaupun mengendur, ia hanya mendesah
tak lama kemudian ia pasrah
sepasrah keringatku yang menderas ke tanah
aku dan wajah itu seperti bimbang
menimbang-nimbang sebuah harapan di depan mata
tapi semuanya tak pernah ada, sama persis dengan wajah itu
yang kembali menghilang sekedip mata
ketika pelarianku terhenti oleh suara yang menyapa
di perempatan sebuah gang
aku dan wajah itu tak pernah lagi ada
sejauh apapun aku berlari, sepertinya wajah itu tak pernah ada
sebab ingatanku bercabang dan melayang-layang
sama-sama terbang layaknya layang-layang
tali yang kupakai, tak pernah terulur
kalaupun mengendur, ia hanya mendesah
tak lama kemudian ia pasrah
sepasrah keringatku yang menderas ke tanah
aku dan wajah itu seperti bimbang
menimbang-nimbang sebuah harapan di depan mata
tapi semuanya tak pernah ada, sama persis dengan wajah itu
yang kembali menghilang sekedip mata
ketika pelarianku terhenti oleh suara yang menyapa
di perempatan sebuah gang
aku dan wajah itu tak pernah lagi ada
Langganan:
Postingan (Atom)